MAKALAH
MATA KULIAH HUKUM ACARA PIDANA PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

DOSEN
PENGAMPU : TRIANA REJEKININGSIH,S.H,K.N,M.Pd.
DISUSUN
OLEH :
NURWAHIDAH
K6412055
PPKN/2012
PENDIDIKAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah, sebelum ada
putusan putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 selanjutnya
disebut sebagai UU Kekuasaan Kehakiman).
Ketentuan ini , dikenal dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) , yang menginginkan
agar setiap orang yang menjalani proses perkara tetap dianggap sebagai tidak
bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum teta yang
menyatakan kesalahannya. Penerapan asas praduga tidak bersalah di dalam KUHAP
merupakan suatu upaya untuk melindungi hak-hak tersangka selama proses
pemidanaan sampai ada putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap
menyatakan kesalahannya.
Penggunaan cara
kekerasan dalam proses pemidanaan oleh polisi sebagaimana juga dikemukakan oleh
Rahardjo ( perlindungan hukum terhadap tersangka dalam penyidikan dari
kekerasan penyidik di kepolisian Resort Banyumas, hlm. 239) dalam penelitiannya
bahwa polisi masih sering menggunakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan
atas keterangan dari tersangka, membuat asas praduga tidak bersalah dalam
perkara pidana sangat diutamakan disbanding dengan perkara lainnya. Hal ini
juga diperkuat dengan polisi selalu menggiring pelaku sebagai sesuatu yang
tidak perlu dihormati. Misalnya saja dalam acara berita criminal di televise
yang menayangkan bagimana pelaku yang diduga digiring dengan cara paksa dan tak
tanggung-tanggung polisi memakai pukulan ke arah kepala pelaku, bertanya dengan
kata-kata yang tidak sopan dan hormat. Fakta ini banyak dilihat atau bahkan
menjadi konsumsi khalayak umum. Bagaimana rakyat tidak anarkis terhadap pelaku
tindak kejahatan sedangka polisi sebagai pihak yang mengamankan juga ikut
memperlakuakan pelaku secara tidak manusiawi.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya ,
problematika penerapan asas praduga tidak bersalah dalam perkara pidana ini,
berkaitan dengan kedudukan yang tidak seimbang antara tersangka/terdakwa dengan
aparat hukum yang berkepentingan, sehingga di kawatirkan terjadi tindak
sewenang-wenang dari aparat hukum. Hukum pidana sebagai hukumpublik ,mengatur
kepentingan umum , sehingga berhubungan dengan negara dalam melindungi
kepentingan umum. Kedudukan tidak seimbang dalm perkara dalam perkara pidana
memungkinkan terjadinya perlakuan sewenang-wenang dari aparat hukum terhadap
tersangka/terdakwa yang dianggap telah melanggar kepentingan umum dalam proses
pemidanaan sebagai orang yang bertanggungjawab atas terjadinya
ketidakseimbangan tatanan dalam masyarakat akibat adanya pelanggaran hukum.
Tersangka/terdakwa
dalam proses penegakkan hukum, dihadapkan dengan negara aatau penguasa, maka
secara umum, kedudukan si terdakwa tidak mungkin disamakan dengan penyidik dan
penuntut umum dalam proses pemidanaan. Meskipun sifat akuisator yang dianut
dalam perkara pidana saat ini, terdapat kecendrungan proses peradilanpidana yang mengarah kepada adversary system.
System adversary adalah
system peradilan yang menundukkan kedua belah pihak yang berperkara dalam
posisi saling berhadapan dan saling berlawanan. System adversary ini sudah
dapat dilihat, karena pada umumnya judul perkara perdata menyebut perkara
antara si A sebagai penggugat melawan si B sebagai tergugat. System adversary
yang dikenal dalam perkara perdata pada dasarnya disebabkan karena kedudukan
para pihak yang berperkara adalah sama, sehingga dalam beracara di persidangan,
mereka didudukan dalam posisi yang sama dan saling berhadapan.
Konsekuensi dari system
adversary ini, adalah para pihak mempunyai kesempatan yang sama dalam proses
jawab menjawab dan dalam proses pemerikasaan alat-alat bukti yang diajukan
dalam persidangan. Kesempatan yang sama ini juga berkaitan dengan kesempatan
untuk dimengankan dalam perkara bergantung kepada pembuktian terhadap
dalil-dalil yang dikemukakanpara pihak di persidangan. Kesempatan yang sama
inijuga berkaitan dengan kesempatan untuk dimenangkan dalam perkara bergantung
kepada pembuktian terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para pihak di
persidangan.
Akuisator, dalam Kamus
Hukum Umum, diartikan sebagai proses peradilan yang memperlakuakan
tersangka/terdakwa dengan baik sebagai pihak yang sederajat dengan penyidik dan
penuntut umum, dengan memberikan kesempatan kepada tersangka/terdakwa untuk
membela diri dan didampingi oleh pembela. Pada kenyataannya system adversary
ini, tidak dapat diterapkan sepenuhnya dalam perkara pidana, karena meskipun
sudah ditentukan sedemikian rupa, namun dalam praktek penyidikan, polisi sering
melakukan upaya pemyiksaan ataupun pemaksaan kepada si tersangka untuk
mendapatkan pengakuan atas tindakan yang dituduhkan kepadanya.
Fenomena kekerasan
penyiksaan dalam dialektika penegakkan hukum di Indonesia memberikan deskripsi
yang jelas tentang betapa lemahnya posisi warga/rakyat sipil manakala warga
berhadapan dengan aparat koersif yang berlindung di balik otoritas kekuasaan
negara. Padahal dalam suatu negara hukum, mengakui persamaan hak tiap-tiao
negara dalam hukum dan pemerintahan (equqlity
before the law).
Ada yang berpendapatbahwa
dalam hukum diperlukan kekerasan agar hukum yang tercipta nantinya lebih baik
dan lebih humanis (Agus Raharjo, “membangun hukum yang humanis”, hlm 67). Hal
ini berkaitan dengan fungsi bukti-bukti permulaan yang harus ada dalam
mengajukan tuntutan pidana, dan menurut Hibnu Nugroho pengakuan tersangka
merupakan target utama penyidik sebagai kelengkapan BAP agar tidak terjadi
penolakan oleh Kejaksaan. Demikian juga dalam tata letak persidangan, terdakwa
tidak akan pernah duduk saling berhadapan dengan Jaksa Penuntut Umum, karena
kedudukan si terdakwa dalam persidangan lebih di kenal dengan istilah “kursi
pesakitan”.
Penerapan asas praduga
tidak bersalah dalam perkara pidana juga sangat terkait dengan system
penghukuman dalam hukum pidana itu sendiri. “ Upaya penaggulanagn kejaahtan
melalui jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat represif, berupa
penumpasan, pemberantasan dan penindasan setelah kejahatan terjadi.” (Paulus
Hadisuprapto, “peradilan anak restorative; prospek hukum pidana anaka Indonesia,
hlm 107).
Dalam upaya
penanggulangan kejahatan melalui jalur penal, pelaku akan melalui proses
pemidanaan. Pemidanaan merupakan suatu solusi untuk menanggulangi kejahatan (control of crime), yang dapat
dibenarkan dan sekaligus juga pembenaran untuk hukum pidana dan system
peradilan pidana. Selama proses pemidanaan tersebut, pelaku tindak pidana
sering mendapat perlakuan yang semena-mena dari petugas. Sebagai orang yang
dianggap tidak bersalah, pelaku tindak pidana sering mendapat perlakuan yang
semena-mena dari petugas. Sebagai orang yang dianggap tidak bersalah,
seyogianya orang tersebut tetap mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam
hukum, mempunyai hak untuk membela diri, mempunyai kebebasan untuk hidup dan
mempunyai kebebasan untuk bergerak.
Sejarah perkembangan
politik di Indonesia, menunjukkan bahwa praktek penangkapan , dan penahanan
yang dilakukan oleh aparat hukum sering berujung kepada penyiksaan, perampasan
kehormatan bahkan penghilangan nyawa demi kepentingan politik yang sedang
berkuasa. Hak-hak tersangka yang sudah ditentukan dalam undang-undang, baru
diberikan setelah didapat pengakuan, yang seharusnya diberikan pada awal
penyidikan berlangsung. Tindakan seperti ini, seyogyanya tidak terjadi di
Indonesia, jika pihak aparat negara selalu memperhatikan asas praduga tidak
bersalah yang terkandung dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan
Kehakiman dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Tersangka adalah
seorang yang karena perbuatannya atau keadaanya, berdasarkan bukti permulaan
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 15 KUHAP). Pada
Ketentuan Umum butir 20 KUHAP disebutkan bahwa penangkapan adalah suatu
tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka/terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan
atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta mnuut cara yang diatur dalam
undang-undang.
Kewenganan penyidik,
penyidik pembantu dan penyelidik dalam melakukan upaya paksasering dilakukan
tanpa memperhatikan kondisi yang sebenarnya dari tersangka pelaku tindak
pidana. Seharusnya tindakan upaya paksa yang dimilikinya dilakukan apabila
dalam keadaan terpaksa, sebaliknya upaya paksa tersebut tidak perlu dilakukan
apabila dianggap belum atau tidak menggangu tugasnya dalam melakukan
penyelidikan atau penyidikan. Namun kenyataan dalam masyarakat,kewenagan
penyidik, penyidik pembantu dan penyelidik, upaya paksa tersebut dengan alasan
persyaratan yang ditentukan oleh KUHAP.
Pengaturan asas praduga
tidak bersalah dalam KUHAP, merupakan salah satu upaya untuk melindungi hak-hak
tersangka dari tindakan sewenang-wenang dari aparat hukum. (Frans H. Winarta,
“Pencapaian Supremasi Hukum yang Beretika dan Bermoral, hlm.8) mengemukakan bahwa
melemahnya penegakkan hukum di Indonesia, dikarenakan aparat penegak hukum yang
belum menunjukkan sikap professional dan tidak memiliki integritas serta moral
yang tinggi. Oleh karenanya dapat disebutkan bahwa budaya hukum yang merupakan
salah satu factor yang turut mempengaruhi bekerjanya system hukum adalah
kesadaran hukum dari para pelaksana fungsi kekuasaan kahakiman.
Penerapan asas
presumption of innocence dalam perkara pidana merupakan akibat proses
pemidanaan oleh penegak hukum, seperti penyidik dan penuntut umum berhadapan
dengan tersangka/terdakwa sering dihadapkan dengan Hak Asasi Manusia, sehingga
asas ini kemudian di tuangkan dalam UU No.39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi
Manusia. Meskipun sebenarnya hak asasi yang merupakan hak kodrati yang melekat
pada menusia tidak membutuhkan legitimasi yuridis untuk memberlakukannya, namun
sifat negara yang sekuler dan positivistic mengakibatkan eksistensi hak kodrati
manusia tersebut meerlukan landasan yuridis dalam mengatur kehidupan
bersama-sama dengan manusia lain.
Proses pemidanaan
tersebut sering tidak mengidahkan hak-hak tersangka, yang seharusnya dilindungi
karena perbuatan pidana yang disangkakan kepadanya tidak selalu terbukti.
Dijatuhkannya putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap terhadap perkara
tersebut, maka peristiwa yang disangkakan atau diajukan oleh pihak yang
berkepentingan dianggap sebagai suatu kebenaran. Sesuai dengan fungsi hukum
sebagai alat untuk merubah masyarakat ( a
tool social engineering ) maka diharapkan putusan hakim dapat merubah pola
tingkah laku masyarakat kea rah yang lebih baik sehingga tujuan negara yang
sudah dituangkan dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 dapat diwujudkan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asas praduga tidak
bersalah adalah asas yang belum di terapkan secara baik oleh Penegak Hukum di
Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan para
terduga bersalah dengan sangat berbeda antara warga biasa dengan orang
berkepentingan, elit, pejabat dan berpendidikan. Seorang pelaku yang belum
ditetapkan pengadilan sebagai orang yang bertanggung jawab dalam sebuah kasus
sudah di hakimi oleh aparat dengan kata-kata kasar,makian bahkan pukulan, hanya
karena pelaku seorang warga sipil biasa. Sedangkan orang di kelas tinggi,
misalnya pejabat yang koruptor, mereka diperiksa berjam-jam dengan ruangan yang
bagus, berAC, dan tidak ada kata-kata kasar apalagi pukulan.
Asas ini di terapkan
dengan dasar kemanusiaan dan atas hak asasi manusia. Tentu hukum memang
bersifat memaksa, memaksa tidak harus dengan kekerasan atau melakukan hal yang
tidak bermoral. Ada banyak hal yang masih perlu dikaji dalam menyikapi sikap
yang diambil oleh aparat saat penangkapan, penyelidikan dan penyidikan.
B. Saran
Untuk penegak hukum
sebaiknya mulai menata diri dalam menjalankan segala aturan-aturan hukum baik
yang kelihatannya sepele, namun sebenarnya telah melanggar kepentingan pribadi
seseorang. Bukan dengan wajah garang namun dengan bersikap lebih bermoral dan
wibawa dalam menghadapi pelaku pidana dari warga biasa juga melakukan hal sama
bagi orang berkelas tinggi. Kalau misalnya di dalam hukum ada perbolehan
berkata kasar dan di bolehkan memukul maka lakukan juga bagi warga secara
merata.
Daftar Pustaka
Nugrioho, Hibnu. “Merekonstruksi Sistem Penyidikan dalam
Peradilan Pidana (Studi tentang Kewenangan Penyidik Menuju Pluralisme
Penyidikan di Indonesia”. Pro Justitia Vol. 26, No.1, Januari 2008.
Raharjo, Agus. “Membangun Hukum yang Humanis”.Pro
Justitia Vol.2, April 2002.
Winarto, Frans H. “Pencapaian Supermasi Hukum yang Beretika dan
Bermoral”. Pro Justitia vol. 20 No.1, Januari 2008.