Kamis, 10 April 2014

PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM PENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA



MAKALAH MATA KULIAH HUKUM ACARA PIDANA PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA


DOSEN PENGAMPU : TRIANA REJEKININGSIH,S.H,K.N,M.Pd.
DISUSUN OLEH :
NURWAHIDAH
K6412055
PPKN/2012
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah,  sebelum ada putusan putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 selanjutnya disebut sebagai UU Kekuasaan Kehakiman).  Ketentuan ini , dikenal dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) , yang menginginkan agar setiap orang yang menjalani proses perkara tetap dianggap sebagai tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum teta yang menyatakan kesalahannya. Penerapan asas praduga tidak bersalah di dalam KUHAP merupakan suatu upaya untuk melindungi hak-hak tersangka selama proses pemidanaan sampai ada putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap menyatakan kesalahannya.
Penggunaan cara kekerasan dalam proses pemidanaan oleh polisi sebagaimana juga dikemukakan oleh Rahardjo ( perlindungan hukum terhadap tersangka dalam penyidikan dari kekerasan penyidik di kepolisian Resort Banyumas, hlm. 239) dalam penelitiannya bahwa polisi masih sering menggunakan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan atas keterangan dari tersangka, membuat asas praduga tidak bersalah dalam perkara pidana sangat diutamakan disbanding dengan perkara lainnya. Hal ini juga diperkuat dengan polisi selalu menggiring pelaku sebagai sesuatu yang tidak perlu dihormati. Misalnya saja dalam acara berita criminal di televise yang menayangkan bagimana pelaku yang diduga digiring dengan cara paksa dan tak tanggung-tanggung polisi memakai pukulan ke arah kepala pelaku, bertanya dengan kata-kata yang tidak sopan dan hormat. Fakta ini banyak dilihat atau bahkan menjadi konsumsi khalayak umum. Bagaimana rakyat tidak anarkis terhadap pelaku tindak kejahatan sedangka polisi sebagai pihak yang mengamankan juga ikut memperlakuakan pelaku secara tidak manusiawi.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya , problematika penerapan asas praduga tidak bersalah dalam perkara pidana ini, berkaitan dengan kedudukan yang tidak seimbang antara tersangka/terdakwa dengan aparat hukum yang berkepentingan, sehingga di kawatirkan terjadi tindak sewenang-wenang dari aparat hukum. Hukum pidana sebagai hukumpublik ,mengatur kepentingan umum , sehingga berhubungan dengan negara dalam melindungi kepentingan umum. Kedudukan tidak seimbang dalm perkara dalam perkara pidana memungkinkan terjadinya perlakuan sewenang-wenang dari aparat hukum terhadap tersangka/terdakwa yang dianggap telah melanggar kepentingan umum dalam proses pemidanaan sebagai orang yang bertanggungjawab atas terjadinya ketidakseimbangan tatanan dalam masyarakat akibat adanya pelanggaran hukum.
Tersangka/terdakwa dalam proses penegakkan hukum, dihadapkan dengan negara aatau penguasa, maka secara umum, kedudukan si terdakwa tidak mungkin disamakan dengan penyidik dan penuntut umum dalam proses pemidanaan. Meskipun sifat akuisator yang dianut dalam perkara pidana saat ini, terdapat kecendrungan  proses peradilanpidana yang mengarah kepada adversary system.
System adversary adalah system peradilan yang menundukkan kedua belah pihak yang berperkara dalam posisi saling berhadapan dan saling berlawanan. System adversary ini sudah dapat dilihat, karena pada umumnya judul perkara perdata menyebut perkara antara si A sebagai penggugat melawan si B sebagai tergugat. System adversary yang dikenal dalam perkara perdata pada dasarnya disebabkan karena kedudukan para pihak yang berperkara adalah sama, sehingga dalam beracara di persidangan, mereka didudukan dalam posisi yang sama dan saling berhadapan.
Konsekuensi dari system adversary ini, adalah para pihak mempunyai kesempatan yang sama dalam proses jawab menjawab dan dalam proses pemerikasaan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Kesempatan yang sama ini juga berkaitan dengan kesempatan untuk dimengankan dalam perkara bergantung kepada pembuktian terhadap dalil-dalil yang dikemukakanpara pihak di persidangan. Kesempatan yang sama inijuga berkaitan dengan kesempatan untuk dimenangkan dalam perkara bergantung kepada pembuktian terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para pihak di persidangan.
Akuisator, dalam Kamus Hukum Umum, diartikan sebagai proses peradilan yang memperlakuakan tersangka/terdakwa dengan baik sebagai pihak yang sederajat dengan penyidik dan penuntut umum, dengan memberikan kesempatan kepada tersangka/terdakwa untuk membela diri dan didampingi oleh pembela. Pada kenyataannya system adversary ini, tidak dapat diterapkan sepenuhnya dalam perkara pidana, karena meskipun sudah ditentukan sedemikian rupa, namun dalam praktek penyidikan, polisi sering melakukan upaya pemyiksaan ataupun pemaksaan kepada si tersangka untuk mendapatkan pengakuan atas tindakan yang dituduhkan kepadanya.
Fenomena kekerasan penyiksaan dalam dialektika penegakkan hukum di Indonesia memberikan deskripsi yang jelas tentang betapa lemahnya posisi warga/rakyat sipil manakala warga berhadapan dengan aparat koersif yang berlindung di balik otoritas kekuasaan negara. Padahal dalam suatu negara hukum, mengakui persamaan hak tiap-tiao negara dalam hukum dan pemerintahan (equqlity before the law).
Ada yang berpendapatbahwa dalam hukum diperlukan kekerasan agar hukum yang tercipta nantinya lebih baik dan lebih humanis (Agus Raharjo, “membangun hukum yang humanis”, hlm 67). Hal ini berkaitan dengan fungsi bukti-bukti permulaan yang harus ada dalam mengajukan tuntutan pidana, dan menurut Hibnu Nugroho pengakuan tersangka merupakan target utama penyidik sebagai kelengkapan BAP agar tidak terjadi penolakan oleh Kejaksaan. Demikian juga dalam tata letak persidangan, terdakwa tidak akan pernah duduk saling berhadapan dengan Jaksa Penuntut Umum, karena kedudukan si terdakwa dalam persidangan lebih di kenal dengan istilah “kursi pesakitan”.
Penerapan asas praduga tidak bersalah dalam perkara pidana juga sangat terkait dengan system penghukuman dalam hukum pidana itu sendiri. “ Upaya penaggulanagn kejaahtan melalui jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat represif, berupa penumpasan, pemberantasan dan penindasan setelah kejahatan terjadi.” (Paulus Hadisuprapto, “peradilan anak restorative; prospek hukum pidana anaka Indonesia, hlm 107).
Dalam upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal, pelaku akan melalui proses pemidanaan. Pemidanaan merupakan suatu solusi untuk menanggulangi kejahatan (control of crime), yang dapat dibenarkan dan sekaligus juga pembenaran untuk hukum pidana dan system peradilan pidana. Selama proses pemidanaan tersebut, pelaku tindak pidana sering mendapat perlakuan yang semena-mena dari petugas. Sebagai orang yang dianggap tidak bersalah, pelaku tindak pidana sering mendapat perlakuan yang semena-mena dari petugas. Sebagai orang yang dianggap tidak bersalah, seyogianya orang tersebut tetap mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam hukum, mempunyai hak untuk membela diri, mempunyai kebebasan untuk hidup dan mempunyai kebebasan untuk bergerak.
Sejarah perkembangan politik di Indonesia, menunjukkan bahwa praktek penangkapan , dan penahanan yang dilakukan oleh aparat hukum sering berujung kepada penyiksaan, perampasan kehormatan bahkan penghilangan nyawa demi kepentingan politik yang sedang berkuasa. Hak-hak tersangka yang sudah ditentukan dalam undang-undang, baru diberikan setelah didapat pengakuan, yang seharusnya diberikan pada awal penyidikan berlangsung. Tindakan seperti ini, seyogyanya tidak terjadi di Indonesia, jika pihak aparat negara selalu memperhatikan asas praduga tidak bersalah yang terkandung dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaanya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 15 KUHAP). Pada Ketentuan Umum butir 20 KUHAP disebutkan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka/terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta mnuut cara yang diatur dalam undang-undang.
Kewenganan penyidik, penyidik pembantu dan penyelidik dalam melakukan upaya paksasering dilakukan tanpa memperhatikan kondisi yang sebenarnya dari tersangka pelaku tindak pidana. Seharusnya tindakan upaya paksa yang dimilikinya dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa, sebaliknya upaya paksa tersebut tidak perlu dilakukan apabila dianggap belum atau tidak menggangu tugasnya dalam melakukan penyelidikan atau penyidikan. Namun kenyataan dalam masyarakat,kewenagan penyidik, penyidik pembantu dan penyelidik, upaya paksa tersebut dengan alasan persyaratan yang ditentukan oleh KUHAP.
Pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam KUHAP, merupakan salah satu upaya untuk melindungi hak-hak tersangka dari tindakan sewenang-wenang dari aparat hukum. (Frans H. Winarta, “Pencapaian Supremasi Hukum yang Beretika dan Bermoral, hlm.8) mengemukakan bahwa melemahnya penegakkan hukum di Indonesia, dikarenakan aparat penegak hukum yang belum menunjukkan sikap professional dan tidak memiliki integritas serta moral yang tinggi. Oleh karenanya dapat disebutkan bahwa budaya hukum yang merupakan salah satu factor yang turut mempengaruhi bekerjanya system hukum adalah kesadaran hukum dari para pelaksana fungsi kekuasaan kahakiman.    
Penerapan asas presumption of innocence dalam perkara pidana merupakan akibat proses pemidanaan oleh penegak hukum, seperti penyidik dan penuntut umum berhadapan dengan tersangka/terdakwa sering dihadapkan dengan Hak Asasi Manusia, sehingga asas ini kemudian di tuangkan dalam UU No.39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia. Meskipun sebenarnya hak asasi yang merupakan hak kodrati yang melekat pada menusia tidak membutuhkan legitimasi yuridis untuk memberlakukannya, namun sifat negara yang sekuler dan positivistic mengakibatkan eksistensi hak kodrati manusia tersebut meerlukan landasan yuridis dalam mengatur kehidupan bersama-sama dengan manusia lain.
Proses pemidanaan tersebut sering tidak mengidahkan hak-hak tersangka, yang seharusnya dilindungi karena perbuatan pidana yang disangkakan kepadanya tidak selalu terbukti. Dijatuhkannya putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap terhadap perkara tersebut, maka peristiwa yang disangkakan atau diajukan oleh pihak yang berkepentingan dianggap sebagai suatu kebenaran. Sesuai dengan fungsi hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat ( a tool social engineering ) maka diharapkan putusan hakim dapat merubah pola tingkah laku masyarakat kea rah yang lebih baik sehingga tujuan negara yang sudah dituangkan dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 dapat diwujudkan.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Asas praduga tidak bersalah adalah asas yang belum di terapkan secara baik oleh Penegak Hukum di Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan para terduga bersalah dengan sangat berbeda antara warga biasa dengan orang berkepentingan, elit, pejabat dan berpendidikan. Seorang pelaku yang belum ditetapkan pengadilan sebagai orang yang bertanggung jawab dalam sebuah kasus sudah di hakimi oleh aparat dengan kata-kata kasar,makian bahkan pukulan, hanya karena pelaku seorang warga sipil biasa. Sedangkan orang di kelas tinggi, misalnya pejabat yang koruptor, mereka diperiksa berjam-jam dengan ruangan yang bagus, berAC, dan tidak ada kata-kata kasar apalagi pukulan.
Asas ini di terapkan dengan dasar kemanusiaan dan atas hak asasi manusia. Tentu hukum memang bersifat memaksa, memaksa tidak harus dengan kekerasan atau melakukan hal yang tidak bermoral. Ada banyak hal yang masih perlu dikaji dalam menyikapi sikap yang diambil oleh aparat saat penangkapan, penyelidikan dan penyidikan.
B.     Saran
Untuk penegak hukum sebaiknya mulai menata diri dalam menjalankan segala aturan-aturan hukum baik yang kelihatannya sepele, namun sebenarnya telah melanggar kepentingan pribadi seseorang. Bukan dengan wajah garang namun dengan bersikap lebih bermoral dan wibawa dalam menghadapi pelaku pidana dari warga biasa juga melakukan hal sama bagi orang berkelas tinggi. Kalau misalnya di dalam hukum ada perbolehan berkata kasar dan di bolehkan memukul maka lakukan juga bagi warga secara merata.

Daftar Pustaka
Nugrioho, Hibnu. “Merekonstruksi Sistem Penyidikan dalam Peradilan Pidana (Studi tentang Kewenangan Penyidik Menuju Pluralisme Penyidikan di Indonesia”. Pro Justitia Vol. 26, No.1, Januari 2008.
Raharjo, Agus. “Membangun Hukum yang Humanis”.Pro Justitia Vol.2, April 2002.
Winarto, Frans H. “Pencapaian Supermasi Hukum yang Beretika dan Bermoral”. Pro Justitia vol. 20 No.1, Januari 2008.